Sabtu, 17 Januari 2009

Cerita Desaku

Kauman adalah sebuah kelurahan yang terletak di sebelah barat alon-alon kota Ponorogo. Sebuah kelurahan dengan luas terkecil diantara kelurahan - kelurahan yang lain di Kecamatan Ponorogo, yaitu 0,58 km persegi.
Kauman adalah sebuah kelurahan yang konon katanya dinamakan Kauman karena yang merintis desa Kauman adalah para ulama. Oleh karena itu timbul dalam pemikiran penulis bahwasannya kauman adalah tempat orang – orang yang beriman, karena banyak juga orang yang berkata bahwa ketika orang –orang mendengar kata Kauman, mereka berpendapat Kauman adalah kaum orang beriman, maka dinamakan Kauman. Namun disini penulis juga mendengar rumor bahwa warga Kauman tidak seperti namanya ( kaum orang beriman), banyak juga warga Kauman yang suka judi, mabuk – mabukan dan hal – hal lain yang dilarang oleh agama.
Setelah penulis menetap di Kauman selama 6 tahun dari tahun 2003 hingga sekarang dan mencoba untuk malihat realita warga Kauman, ternyata rumor yang di dengar adalah benar adanya. Maka dari itu penulis, selaku warga Kauman berminat untuk meneliti sejarah dan perkembangan pendidikan di desa Kauman.

Menurut R Purwowijoyo luas kelurahan Kauman 0,58 km persegi. Mula bernama Kauman karena yang merintis awal adalah para ulama. Apalagi terdapat masjid agung. Tiga orang ulama yang merintis kelurahan Kauman adalah:

1. Kyai Milirsejati (Cokrokusumo) dari Tembayat, beliau merintis dari timur Sekayu, lantas disitu membuat musholla. Beliau bersemayam di lingkungan Dawung RT II, RW III tepatnya jalan Kyai Mojo. Menurut cerita beliau membuat nama samaran Milirsejati, karena pada waktu itu beliau merupakan buronan Belanda. Beliau adalah pemberontak pemerintah Belanda bersama sama pangeran Diponegoro. Dan beliau wafat karena tertembak oleh Belanda.

2. Kyai Galundheng, beliau merintis sebelah timur Kyai Milirsejati. Beliau adalah seorang yang sangat kaya oleh sebab itu beliau membuat musholla namun seperti masjid bersusun tiga.

3. Kyai Abdurrachman bersama keluarga dari Pulosari bawah Badegan. Beliau juga membuat masjid lantas mendirikan pondok pesantren. Murid Kyai Abdurrachman banyak, bahkan banyak juga warga dari desa lain yang belajar di pondok pesantren itu. Beliau disemayamkan di belakang masjid agung di lingkungan Sukun RT II, RW II. Tepatnya jalan KH Zainal Mustofa.

Ke tiga kyai tersebut hidup berdampingan, bergotong royong, bergantian menjadi imam masjid dan bergantian mengajar di pondok pesantren tersebut.
Kanjeng Bupati Mertohadinegoro ingin membuat masjid. Tukang kayu diambil dari Solo dan Kyai Sutowijoyo adalah orang yang bertanggung jawab. Masjid didirikan hari minggu (pon) 5 Syuro 1843 M.
Pembuatan masjid pun tidak gampang, seluruh tukang merasa kesulitan ketika memasang tiang ,karena tiang tidak bisa didirikan, tiang bisa berdiri 2 ketika tiang ke 3 berhenti, dan tiang 1 runtuh. Dan ketika mendirikan tiang yang lain yang satunya runtuh. Lantas Kyai Abdurrachman memanggil Bupati. Ketika bupati datang lantas mengambil bambu apus (bahasa jawa). 4 ujungnya di lilit di buat tali. 4 pangkal tiang berada di tengah. Ujung mengarah ke kiblat 4, Bupati duduk tepat berada di tengah ruangan. Tiang di tarik dan bisa berdiri serentak.

Dengan kejadian itu, semua orang menjadi tercengang dengan apa yang telah dilakukan oleh Bupati Mertohadinegoro.
Pada masa bupati Lider, beliau menginginkan bedhug masjid kauman kota diganti. Kayu jati untuk membuat bedhug tersebut diambil dari hutan Pulung. Kayu jati tersebut merupakan kayu jati terbesar di hutan Pulung tersebut. Tempat itu sangat angker, konon katanya terdapat jin, setan, banas pati. Bupati mendekat di pohon jati tersebut kemudian bersemedi. Kewibawaan yang dimiliki oleh kanjeng bupati membuat jin, setan tertidur. Pohon jati dipotong dan seketika jin bangun dan bersujud. Kemudian kayu diambil dan pada waktu itu ratu jin mempunyai keinginan yaitu kayu tidak boleh dipotong – potong di tempat itu, ranting dan ujungnya. Permintaanya di kabulkan, dan bupati minta agar setan, jin ikut membawa kayu jati sampai Ponorogo.
Ketika hari baik, kayu ditarik kerbau dan sapi beserta sinden waranggono yang cantik parasnya, suaranya yang lembut sehingga membuat hati terlena bagi yang mendengarnya Sampai perempatan Tonatan Surodikraman istirahat. Jin setan lari karena pada waktu itu hari sudah terang. Dan kayu tergeletak di pinggir jalan.
Kanjeng Bupati Lider (Cokronegoro I ) dan para ulama kemudian sholat minta hujan. Permintaan terkabulkan lantas hujan deras. Anehnya air hanya mengalir di jalan besar ke barat ( sekarang jalan Jendral Sudirman sampai Imam Bonjol ). Selanjutnya Bupati menggendam bajul kowor dan yang lainnya yang tinggal di sungai Tempuran (dari jl. Imam Bonjol ke barat, mentok belok kiri). Semuanya berdatangan dan diberi intruksi untuk menyangga kayu hingga sampai pada selatan aloon-aloon ( jalan Imam Bonjol ) Semuanya datang dan di suruh membawa kayu hingga ke selatan alon – alon.
Kayu sampai di depan rumah gusti Lider kemudian di potong menjadi tiga. Satu untuk bedhuk masjid Tegalsari. Satu untuk masjid Kauman.

Dan yang satu di buat untuk tiang rumah gusti Lider yang berada di barat aloon –aloon, sebagian dari kayu tersebut digunakan untuk rumahnya lagi yang berada di barat sendiri. Di kedua rumah tersebut terdapat kamar yang angker.
Kanjeng Lider Cokronegoro I dan Cokronegoro II di semayamkan di belakang Masjid Agung. Tepatnya jalan KH Kasan Besari.

Hingga saat ini di Kelurahan Kauman terdapat suatu tradisi yaitu, ketika di lingkungan Kelurahan Kauman ada orang yang meninggal dunia, maka akan ada orang yang berkeliling di lingkungan kelurahan Kauman sambil membunyikan terompet(terompet terbuat dari kuningan dan kira-kira sudah berusia puluhan tahun). Sampai di pertigaan, perempatan dan tengah jalan mereka berhenti sejenak dan membunyikan terompet berulang – ulang. Seketika orang – orang yang berada di sekitar lingkungan tersebut berhamburan keluar dan bertanya siapa yang meninggal dunia. kemudian orang yang meniup terompet tersebut mengabarkan siapa yang meninggal. Konon terompet itu dulu di gunakan sebagai sarana pemberitahuan karena pada saat itu belum ada alat pengeras suara. Dan kenapa hingga sekarang tetap di gunakan untuk sarana pemberitahuan orang meninggal dunia walaupun sekarang sudah banyak terdapat alat pengeras suara di masjid – masjid, menurut nara sumber itu semua hanya untuk mengingatkan kita akan datangnya kematian atau ajal yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup, yang mana ditandai dengan peniupan sangka kala ( terompet ) dari malaikat Israfil.

Pendidikan di Kelurahan Kauman dari tahun ke tahun semakin merosot, hal ini terbukti karena hampir hilangnya salah satu Sekolah Dasar Negeri Kauman I yang berada di jalan KH Zainal Arifin yang sampai saat ini hanya tinggal dua kelas saja yaitu kelas 6 yang berjumlah 17 dan akhirnya di gabung menjadi satu di Sekolah Dasar Negeri Kauman II.

Dan dulu di kelurahan Kauman juga terdapat PGA yang terletak di jalan KH Wachid Hasyim utara masjid Agung, kemudahan pindah ke jalan sekarang adalah MAN 2 Ponorogo. Gedung yang dipakai untuk PGA semula adalah kantor KUA. Setelah PGA pindah di pakai untuk madrasah diniyah Cokronegoro yang lama kelamaan juga punah karena tidak ada murid, dan saat ini gedung tersebut di gunakan oleh Qurrota A’yun, karena Qurrota A’yun kekurangan kelas akhirnya SDN Kauman I pun ikut digunakan.
Kini lembaga pendidikan yang berada di kelurahan Kauman adalah STM Muhammadiyah Ponorogo yang berada di jalan KH Kasan Besari dan TA. Aisyiah terletakdi sebelah timur STM MUHIPO , TPQ Cokronegoro yang berada di Masjid Agung Ponorogo. SDN Kauman II Ponorogo dan RA Muslimat yang terletak di jalan KH Zainal Arifin, TPQ Al-Jannah satu gedung dengan RA Muslimat dan Qurrota A’yun di jalan KH Wachid Hasyim.


Banyak dari warga kelurahan Kauman yang penulis rasa tidak begitu peduli dengan pendidikan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemuda yang pengangguran, minum minuman, judi yang sering dilakukan hampir tiap malam. Tidak hanya pemuda saja, bapak – bapak pun juga demikian, dilihat dari sini penulis dapat menyimpulkan seandainya para orang tua tidak melakukan hal itu, besar kemungkinan anak tidak akan melakukan hal demikian pula. Penulis sendiri juga kurang tau kenapa hal tersebut dapat terjadi, sedangkan menurut sejarah awal kelurahan Kauman adalah kelurahan yang dirintis oleh para ulama dan banyak orang dari desa lain yang belajar agama di lingkungan Kauman.

Pembodohan Siswa Tersistematis

Pembodohan Siswa Tersistematis


Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak dapat lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan, kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata dunia internasional. Kata Daoed Joesoef: “pendidikan merupakan alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia.” Statement yang di ungkapakan oleh Daoed Joesoef menunjukkan betapa pentingnya pendidikan, namun apa yang akan terrjadi ketika suatu pendidikan dikatakan sebagai pengangkat derajat bangsa, sebuah alat penentu mencapai kemajuan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Seperti pendidikan kita yang seharusnya menjadi sebuah alat untuk mencetak manusia-manusia yang berprestasi, cerdas, tapi menjadi sebuah alat pembodohan. Kenapa demikian?
Pembodohan siswa memiliki makna yang begitu dalam tentang berbagai kesalahan dalam pelaksanaan pendidikan kita. Kata pembodohan lebih menekankan adanya “subyek” indoktrinasi dalam proses pendidikan. Oleh karenanya kita perlu mengetahui bentuk-bentuk perilaku pembodohan yang telah terjadi supaya menjadi cerminan bagi kita dan para “pelaku” pendidikan untuk berbuat lebih baik dan membangkitkan pendidikan kita.
Perdebatan mengenai pergantian dan atau perubahan kurikulum, materi pelajaran, distribusi informasi, inovasi pembelajaran, filterisasi informasi, sertifikasi guru, kompetensi siswa, mahalnya biaya sekolah, biaya buku, biaya seragam, rendahnya penghargaan terhadap guru dan lain sebagainya merupakan sederetan panjang kasus-kasus dalam dunia pendidikan yang sekaligus media proses pembodohan siswa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian bersekolahpun justru hanya akan melangsungkan praktik pembodohan.

Sekolah dalam anggapan banyak orang tua mungkin merupakan harapan satu-satunya bagi pendidikan anak agar dapat meraih masa depan yang gemilang. Namun celakanya harapan tersebut tampaknya mulai sirna. Sekolah tidak lagi bedaya untuk memberikan harapan-harapan dan juga tidak berdaya menghasilkan manusia yang tangguh menghadapi tantangan baik moral maupun intelektual. Angka pengangguranpun terus melambung tinggi. Lantas siapa yang disalahkan? Sekolah ? siswa ? orang tua ? ataukah guru?
Perilaku pembodohan siswa yang tersistematis telah menjadi penyebab bagi gagalnya pendidikan anak bangsa yang berkualitas. Perilaku pembodohan tersebut kini bahkan sadar tidak sadar telah mendarah daging dalam praktik pendidikan di Indonesia. Pemalsuan ijazah, penjualan gelar, penyuapan dari orang tua ke guru, guru yang asal mengajar, hingga pergantian penguasa yang tidak banyak membawa perubahan selain sekedar berganti-ganti kurikulum.

Konsep tripusat pendidikan yang diciptakan oleh Ki Hajar Dawantara yaitu pendidikan di lembaga pendidikan, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan keluarga hanya sekedar yang seakan-akan dijalankan. Lebih tepatnya , Indonesia hanya menerapkan tunggal pusat pendidikan yaitu pendidikan di lembaga sekolah. Sekolah adalah satu-satunya tempat belajar yang bisa mengantarkan pada kecerahan masa depan, sehingga keluarga dan masyarkat hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka di sekolah sehingga terkesan lepas tangan. Yang terpenting bagi mereka adalah anaknya bisa mendapatkan ijazah sebagi bukti kelulusan dengan nalai-nilai yang sempurna, dan ketika anak mereka gagal dalam pendidikan yang disalahkan adalah sekolah.

Pertama, realita pendidikan di Indonesia yang mana orang miskin dilarang sekolah karena pendidikan dengan biaya yang sangat tinggi mengakibatkan warga masyarakat yang ingin mengikuti pendidikan mengalami kesulitan, sehingga pendidikan nasional belum dapat dirasakan masyarakat. Berubah-ubahnya kurikulum menjadi kebingungan tersendiri bagi pendidik dan peserta didik dan hal ini seakan-akan menjadikan siswa hanya sebagai kelinci percobaan untuk menemukan kurikulum mana yang cocok yang memiliki pengaruh besar bagi mutu pendidikan. Anehnya lagi perubahan kurikulum yang membingungkan menjadi ladang uang bagi pihak tertentu. Belum lagi rendahnya mutu guru sebagai akibat dari profesi guru yang hanya menjadi tempat pelarian setelah orang-orang gagal memperoleh pekerjaan yang lebih menjamin kesejahteraan mereka.

Kedua, betapa tragisnya menjadi siswa. Anak SD mencoba gantung diri, bocah SD gantung diri gara-gara tak mampu bayar SPP, tak lulus UAN seorang siswa SMA coba bunuh diri, biaya mahal banyak siswa terancam putus sekolah semua itu adalah kisah-kisah tragis yang dialami oleh siswa-siswa yang malang, yang terpuruk dalam kemiskinan, yang terampas haknya untuk mendapatkan kebahagian dalam pendidikan sebagai akibat dari privatisasi pendidikan yang kebablasan.

Ketiga, mengenai kemana system pendidikan kita akan berkiblat. Mungkinkah karena perasaan egoisme, suka meniru, jika tidak dari luar negeri tidak inilah yang akhirnya menjadi carut marutnya system pendidikan kita. Hingga akhirnya bangsa ini tidak memiliki karakter, cirri, budaya, dan cara sendiri yang tentunya akan lebih sesuai, tepat, dan pas bagi system pendidikan kita.

Keempat, berisikan munculnya persoalan-persoalan akibat berlakunya kurikulum baru. Ketidakoptimalan kurikulum 2004 yang menyisakan banyak persoalan tentang ketidakpastian dalam pelaksanaan. Ketidakoptimalan KBK yang disebabkan oleh tiga hal yaitu pertama inkonsistensi aplikasi yang mengakibatkan amburadulnya pelaksanaan pendidikan. Kedua perbedaan interpretasi dan implementasi KBK di tingkat penatar, kepala sekolah dan para guru karena belum optimalnya sosialisasi. Ketiga, kemunculan KBK yang berpijak pada asumsi bahwa kondisi sekolah di Indonesia tidak sama seharusnya menjadi kerangka dasar bagi pemerintah dalam menerapkannya. Kemudian muncullah KTSP. Belum lagi pemahaman yang sepenggal mengenai kebijakan pendidikan justru menimbulkan wacana bahwa otonomi pendidikan yang pada gilirannya memunculkan komersialisasi dan kapitalisme di dunia pendidikan. Yang pada akhirnya pendidikan nasional kita masih terhimpit dengan persoalan kurikulum dan anggaran.

Kelima, perilaku pembodohan siswa yang sering terjadi di tri pusat pendidikan yaitu pertama dalam rumah tangga yang berbentuk kurangnya perhatian, menyuap sekolah (guru), pemaksaan hak, menyuruh anak mencari nafkah, keras dalam mendidik. Kedua dalam sekolah, perilaku pembodohan siswa yang sering terjadi di sekolah adalah manipulasi nilai,guru tidak percaya diri, gaya belajar yang membodohkan siswa, soal ujian sama persis dengan tahun sebelumnya, hukuman yang tidak mendidik, guru yang tidak ideal. Ketiga pembodohan dalam masyarakat diantaranya adalah budaya kapitalis, anarkis, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan dan ijazah palsu. Dampak dari kesalahan kebijakan pemerintah adalah termasuk tindakan pembodohan siswa diantaranya mahalnya buku, pegadaan dan penyebaran guru, standarisasi kelulusan siswa, mendiskriminasikan keberadaan sekolah swasta, sekolah gratis.

Keenam, berisi tentang upaya penghapusan pembodohan dalam pendidikan yang dapat dilakukan dengan cara bebaskan siswa dari pengkatrolan nilai ujian, merancang dana pendidikan anak dan meningkatkan keprofesionalan dan peran guru.

Ketujuh, mengenai kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air dapat dikatakan senantiasa gagal akibat adanya ketergantungan penentu kebijakan pendidikan dalam perubahan social yang sudah usang, sehingga ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan – harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan. Sehingga bagaimana mewujudkan sekolah mandiri.